Saturday, 21 November 2015

Motivasi - Tugas 9 Psikologi Manajemen

MOTIVASI

A.    Teori Hirarki Kebutuhan Maslow
Teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki teori hierarki kebutuhan milik Abraham Maslow. Ia membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu:
1.      Kebutuhan Fisiologis:
Merupakan kebutuhan tingkat pertama yang paling rendah dan harus dipenuhi dan dipuaskan sebelum mencapai kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi. Kebutuhan ini terdiri dari rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya yang bersifat biologis.

2.       Kebutuhan Rasa Aman:
Kebutuhan rasa aman adalah rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional.

3.      Kebutuhan Sosial:
Kebutuhan Sosial yaitu, rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan. Kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, pada saat ini individu akan sangat merasa kesepian dan terisolasi dari pergaulan.

4.      Kebutuhan Penghargaan:
Kebutuhan Penghargaan yaitu, faktor penghargaan internal dan eksternal, dan aktualisasi diri (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri).
Kebutuhan harga diri dapat dibagi menjadi dua katagori. Pertama adalah kebutuhan terhadap kekuasaan, berpretasi, pemenuhan diri, kekuatan, dan kemampuan untuk memberi keyakinan serta kebebasan. Kedua adalah kebutuhan akan nama baik, status, keberhasilan, pengakuan, perhatian, penghargaan.

5.      Aktualisasi Diri
Aktualisasi Diri, yaitu pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri. Masing-masing orang ingin mewujudkan diri sebagai seorang yang mempunyai kemampuan yang unik. Kebutuhan ini hanya ada setelah empat kebutuhan sebelumnya dicapai secara memuaskan. Pada dasarnya bertujuan untuk membuat seluruh potensi yang ada dalam diri seseorang sebagai suatu wujud nyata yaitu dalam bentuk usaha aktualisasi diri.

Maslow memisahkan lima kebutuhan ke dalam urutan-urutan. Kebutuhan fisiologis dan rasa aman dideskripsikan sebagai kebutuhan tingkat bawah sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat atas.  Perbedaan antara kedua tingkat tersebut adalah dasar pemikiran bahwa kebutuhan tingkat atas dipenuhi secara internal sementara kebutuhan tingkat rendah secara dominan dipenuhi secara eksternal.

B.     Kebutuhan yang Relevan dengan Perilaku Dalam Organisasi
Kebutuhan merupakan fundamen yang mendasari perilaku pegawai. Karena tidak mungkin memahami perilaku tanpa mengerti kebutuhannya.
Abraham Maslow (Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia adalah sebagai berikut:
1.    Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik, bernapas, seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar.
2.    Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan akan perlindungan diri dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup.
3.    Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai.
4.    Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain.
5.    Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, skill dan potensi. Kebutuhan untuk berpendapat dengan mengemukakan ide-ide, gagasan dan kritik terhadap sesuatu.

Sumber:
Leavitt, J.H., 1992 Psikologi Manajemen, Alih Bahasa Zarkasi, M., Jakarta: Penerbit Erlangga.
Maslow, A. Motivation and Personality. New York: Harper & Row, 1954.
Surakhmad, Winarno.1982. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Motivasi - Tugas Psikologi Manajemen Minggu Ke 8

MOTIVASI

A.    Pengertian Motivasi
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya.

Berdasarkan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan teori Y Douglas McGregor maupun teori motivasi kontemporer, arti motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang. Berbeda dengan motivasi dalam pengertian yang berkembang di masyarakat yang seringkali disamakan dengan semangat.

B.     Teori Drive Reinforcement dan Implikasi Praktisnya
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian konpensasi. Misalnya promosi seorang karyawan itu tergantung dari prestasi yang selalu dapat dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku tersebut. Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis, yaitu :

1.  Pengukuhan Positif (Positive Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuh positif diterapkan secara bersyarat.
2.   Pengukuhan Negatif (Negative Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat.

Jadi prinsip pengukuhan selalu berhubungan dengan bertambahnya frekuensi dan tanggapan, apabila diikuti oleh stimulus yang bersyarat. Demikian juga prinsip hukuman (Punishment) selalu berhubungan dengan berkurangnya frekuensi tanggapan, apabila tanggapan (response) itu diikuti oleh rangsangan yang bersyarat. Contoh : pengukuhan yang relatif malar adalah mendapatkan pujian setelah seseorang memproduksi tiap-tiap unit atau setiap hari disambut dengan hangat oleh manajer.

Teori ”drive” bisa diuraikan sebagai teori-teori dorongan tentang motivasi, perilaku didorong ke arah tujuan oleh keadaan-keadaan yang mendorong dalam diri seseorang atau binatang. Contohnya., Freud ( 1940-1949 ) berdasarkan ide-idenya tentang kepribadian pada bawaan, dalam kelahiran, dorongan seksual dan agresif, atau drive (teorinya akan diterangkan secara lebih detail dalam bab kepribadian). Secara umum , teori-teori drive mengatakan hal-hal berikut : ketika suatu keadaan dorongan internal muncul, individu di dorong untuk mengaturnya dalam perilaku yang akan mengarah ke tujuan yang mengurangi intensitas keadaan yang mendorong. Pada manusia dapat mencapai tujuan yang memadai yang mengurangi keadaan dorongan apabila dapat menyenangkan dan memuaskan. Jadi motivasi dapat dikatakan terdiri dari:
1.      Suatu keadaan yang mendorong.
2.      Perilaku yang mengarah ke tujuan yang diilhami oleh keadaan terdorong.
3.      Pencapaian tujuan yang memadai.
4.      Pengurangan dan kepusaan subjektif dan kelegaan ke tingkat tujuan yang tercapai.

Setelah keadaan itu, keadaan terdorong akan muncul lagi untuk mendorong perilaku ke arah tujuan yang sesuai. Pengulangan kejadian yang baru saja diuraikan seringkali disebut lingkaran korelasi.

Teori-teori Drive berbeda dalam sumber dari keadaan terdorong yang memaksa manusia atau binatang bertindak. Be berapa teori, termasuk teori Freud, dipahami oleh keadaan terdorong sejak belum lahir, atau instingtif. Tentang perilaku binatang, khususnya ahli ethologi telah mengusulkan suatu penjelasan suatu mekanisme dorongan sejak kelahiran (tinbergen, lorenz, dan leyhausen dalam morgan, dkk. 1986). Teori-teori drive yang lain telah mengembangkan peran belajar dalamkeaslian keadaan terdorong. Contohnya, dorongan yang di pelajari (learned drives), seperti mereka sebut, keaslian dalam latihan seseorang atau binatang atau pengalaman masa lalu dan yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Karena penggunaan minuman keras sebelumnya, ketagihan heroin, contohnya mengembangkan suatu dorongan untuk mendapatkan hal tersebut, dan karena itu mendorong ke arah itu. Dan dalam realisasi motif sosial, orang telah belajar dorongan untuk kekuasaan, agresi atau prestasi. Keadaan terdorong yang dipelajari menjadi ciri abadi dari orag tertentu dan mendorong orang itu ke arah tujuan yang memadai, orang lain mungkin belajar motif sosial yang lain dan didorong ke arah tujuan yang berbeda.
Biasanya di terapkan dalam kehidupan sehari-hari, misalkan seorang kuli panggul di pasar tradisional, jika ia dapat mengangkut/mengirim 5 ton buah pada tiap 5 karung maka akan diberikan 2 kg buah segar oleh pemilik toko buah tersebut. Drive-Reinforcement nya berbentuk reward berupa materi yang diberikan pemilik toko kepada pekerjanya (kuli panggul).

C.    Teori Harapan dan Implikasi Praktisnya
Teori harapan kadang disebut teori ekspektansi atau expectancy theory of motivation dikemukakan oleh Victor Vroom pada tahun 1964. Vroom lebih menekankan pada faktor hasil (outcomes), dibandingkan dengan kebutuhan (needs) seperti yang dikemukakan oleh Maslow and Herzberg.
Teori ini menyatakan bahwa intensitas kecenderungan untuk melakukan dengan cara tertentu tergantung pada intensitas harapan bahwa kinerja akan diikuti dengan hasil yang pasti dan pada daya tarik dari hasil kepada individu.
Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan, mengatakan seseorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia menyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik (Victor Vroom dalam Robbin 2003:229) Karena ego manusia yang selalu menginginkan hasil yang baik baik saja, daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang terkandung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan (Hasibuan 2001:165). Apabila harapan dapat menjadi kenyataan, karyawan akan cenderung meningkatkan gairah kerjanya. Sebaliknya jika harapan tidak tercapai, karyawan akan menjdadi malas.
Teori ini dikemukakan oleh Victor Vroom yang mendasarkan teorinya pada tiga konsep penting, yaitu:
1.    Harapan (expentancy)
Harapan (expentancy) adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena prilaku .Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti kepastian

2.    Nilai (Valence)
Nilai (Valence) adalah akibat dari prilaku tertentu mempunyai nilai atau martabat tertentu (daya atau nilai motivasi) bagi setiap individu tertentu.

3.    Pertautan (Inatrumentality)
Pertautan (Inatrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengn hasil tingkat ke dua.Vroom mengemukakan bahwa pertautan dapat mempunyai nilai yang berkisar antara –1 yang menunjukan persepsi bahwa tercapinya tingkat ke dua adalah pasti tanpa hasis tingkat pertama dan tidak mungkin timbul dengan tercapainya hasil tingkat pertama dan positip satu +1 yang menunjukan bahwa hasil tingkat pertama perlu dan sudah cukup untuk menimbulkan hasil tingkat ke dua.

Teori ini termasuk kedalam Teori-teori Kesadaran. Teori ini menunjukkan pendekatan kognitif terhadap motivasi kerja, yang menekankan kepada kemampuan individu dalam pemrosesan informasi. Kekuatan motivasi yang mendasarinya bukanlah sebuah kebutuhan. Pekerja diasumsikan melakukan penilaian rasional terhadap situasi kerjanya dengan mengumpulkan informasi untuk diolah, kemudian membuat keputusanyang optimal. Kebutuhan hanya digunakan untuk membantu dalam memahami bagaimana pekerja membuat pilihan berdasarkan pada keyakinan persepsi dan nilai – nilai mereka.. Salah satu teori harapan yang terkait dengan kerja dikemukakan oleh George Poulus, Mathoney dan Jones (1957) yang mengacu pada Path-Goal Theory. Mereka mengemukakan bahwa para pekerja akan cenderung menjadi produktif apabila mereka memandang produktivitas yang tinggi itu sebagai satu cara atau lebih pada tujuan pribadi.
Sebaliknya, kinerja yang rendah hanyalah satu jalan menuju tujuan pribadi. Misalnya produktivitas yang tinggi akan lebihcepat atau mudah untuk terpenuhinya tujuan pribadi daripada pekerja yang hasilnya terbatas atau lebih rendah. Dengan menggunakan pendekatan”jalan ke arah tujuan (path-goal)” ini, Vroom (1976) menyarankan suatu teori motivasi kerjayang dikenal dengan singkatan VIE – Valensi/kemampuan (valence), sarana (Instrumentality), dan harapan (Expectancy). Pada kesempatan ini yang dibahas yaitu mengenai Teori Harapan (Expectancy Theory). Nadler & Lawler menyatakan bahwa terlepas dari teori VIE sebagaimana yang diutarakan para ahli lainnya, namun ternyata teori VIE menerima terlalu banyak dukungan empiis karena nilainya yang positif bagi organisasi. Secar khusus, teori ini memberikan beberapa implikasi yang jelas dan positif bagi manajer, dimana manajer hendaknya memperhatikan petunjuk sebagai berikut:
Menentukan mana penghargaan yang lebih penting para pegawai. Misalnya, kebanyakan manajer seringkali memandang bahwa pemberian gaji dan tunjangan yang tinggi sangat diinginkan pegawai, namun setelah dilakukan pnlitian dia terkejut karena hasilnya justru menunjukkan bahwa hal tersebut tidak terbukti. Demikian perlu dicatat bahwa keinginan para pegawai berbeda – beda,dan oleh karena itu mereka tidak memberikan respon dengan cara yang sama terhadap sistem insentif perusahaan. Mendefinisikan kinerja yang baik dengan menetapkan secara benar standar kuantitas dan kualitas kerja yang terukur. Memastikan bahwa tujuan kinerja bersifat realistik, apabila pegawai tidak mencapai tujuan kinerja yang diharapkan, maka motivasi untuk bekerja pun menjadi rendah. Pegawai harus merasakan bahwa penghargaan yang diterima terasa adil. Tetapi sistem motivasi yang berdasarkan pada equity (keadilan) jangan dikacaukan dengan sistem yang berdasarkan equality (kesamaan), dimana seluruh pegawai diberikan dengan penghargaan yang sama dengan mengabaikan kualitas kerja dan hasil kerja masing – masing individu. Mengingat ada beberapa organisasi yang memiliki aturan kerja yang kaku dan sistem penghargaan yang mendorong para pekerja untuk mencapai hasil yang setinggi – tingginya, maka para manajer hendaknya merancang sistem penghargaan yang lebih fleksibel dan equitable.
Contoh Kasus PHK:
Dari sudut pandang Expectancy Theory, para pekerja tidak termotivasi untuk bekerja keras karena tidak adanya hubungan antara prestasi kerja dengan penghasilan. Persepsi mereka adalah bahwa kerja keras tidak akan memberikan mereka penghasilan yang diharapkan. Malahan, dengan adanya PHK, mereka memiliki persepsi bahwa walaupun telah bekerja keras, kadang-kadang mereka malah mendatangkan hasil yang tidak diinginkan, misalnya PHK. Konsisten dengan teori ini, para pekerja pun menunjukkan motivasi yang rendah dalam melakukan pekerjannya.
Rekomendasi: Kaitkan penghasilan dengan prestasi. Sesuai dengan Expectancy Theory (Vroom, dalam Donovan, 2001), tiga hal akan direkomendasikan untuk perusahaan dalam Contoh Kasus:
a.       Tingkatkan Expectancy: Para pekerja perlu merasa bahwa mereka mampu mencapai prestasi yang tinggi. Jika perlu, perusahaan perlu memberikan pelatihan untuk memastikan bahwa para karyawan memang memiliki keahlian yang dituntut oleh masing-masing pekerjaannya.
b.      Tingkatkan Instrumentality: Ciptakan reward system yang terkait dengan prestasi. Misalnya, selain gaji pokok, tim yang berhasil mencapai targetnya secara konsisten akan mendapatkan bonus. Dengan cara ini, para karyawan mengetahui bahwa prestasi yang lebih baik memang benar akan mendatangkan penghasilan yang lebih baik pula.
c.       Tingkatkan Valence: Karena masing-masing individu memiliki penilaian yang berbeda, sangatlah sulit bagi perusahaan untuk merancang reward system yang memiliki nilai tinggi bagi setiap individu karyawan. Salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan memberikan poin bonus yang bisa ditukarkan dengan berbagai jenis hal sesuai kebutuhan individu, misalnya poin bonus bisa ditukarkan dengan hari cuti, uang, kupon makan, dsb. Konsekuensi dari program ini adalah perusahaan harus menerapkan sistem pencatatan yang rapi untuk memastikan bahwa masing-masing karyawan mendapatkan poin bonus secara adil.

D.    Teori Tujuan dan Implikasi Praktisnya
Teori ini menyatakan bahwa mencapai tujuan adalah sebuah motivator. Hampir setiap orang menyukai kepuasan kerja karena mencapai sebuah tujuan spesifik. Saat seseorang menentukan tujuan yang jelas, kinerja biasanya meningkat sebab:
1.    Dia akan berorientasi pada hal hal yang diperlukan.
2.    Dia akan berusaha keras mencapai tujuan tersebut.
3.    Tugas tugas sebisa mungkin akan diselesaikan.
4.    Semua jalan untuk mencapai tujuan pasti ditempuh.
Teori ini mengatakan bahwa kita akan bergerak jika kita memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Dari teori ini muncul bahwa seseorang akan memiliki motivasi yang tinggi jika dia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga muncullah apa yang disebut dengan Goal Setting (penetapan tujuan).

Sumber:
Ferry, Nursalam. (2012). Pendidikan dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
http://id.wikipedia.org/wiki/Motivasi, diakses 21 November 2015.
Irianto, Anton. (2005). Born to win. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Surakhmad, Winarno.1982. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito




Saturday, 14 November 2015

Tugas Psikologi Manajemen - Minggu Ke 7 (3PA04)

Ulfatus Saniyyah (19513042)

MODERN CHOICE APPROACH TO PARTICIPATION
A.  Konsep Decission Tree of Leadership dari Vroom & Yetton:
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
  1. AI (Autocratic): Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan informasi yang ada.
  2. AII (Autocratic): Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral.
  3. CI (Consultative): Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
  4. CII (Consultative): Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
  5. GII (Group Decision): Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.

Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
  1. Normative TheorRules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973).
  2. Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi   atau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
  3. Goal Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
  4. Unstructured Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
  5. Acceptance Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi gaya autocratic.
  6. Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi gaya autocratic.
  7. Fairness Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan gaya yang paling partisipatif.
  8. Acceptance Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.

Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
  1. Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah.
  2. Spesifikasi kriteria untuk menilai keefektifan keputusan Yang termasuk dalam keefektifan keputusan antara lain : kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan waktu.
  3. Kerangka untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik.
  4. Variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan.
B.  Teori Kepemimpinan dari Konsep Contigency Theory of Leadership dari Fiedler
Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yg spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach.
Asumsi dasar adalah bahwa sangat sulit bagi pemimpin untuk mengubah gaya kepemimpinan yang telah membuat ia berhasil, penekanan pada efektifitas dari suatu kelimpok, efektivitas suatu organisasi tegantung pada (is contingent upon), dua variable yang saling berinteraksi yaitu:
1.      System motivasi dari pemimpin
2.      Tingkat atau keadaan yang menyenangkan dari situasi.
Model kepemimpinan kontijensi Fiedler (1964, 1967) menjelaskan bagaimana situasi menengahi hubungan antara efektivitas kepemimpinan dengan ukuran ciri yang disebut nilai LPC rekan kerja yang paling tidak disukai (Yukl, 2005:251). Fiedler menemukan bahwa tugas pemimpin berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol rendah dan moderat dan hubungan manajer berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol moderat.
Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
  1. Hubungan pemimpin-pengikut
Pemimpin akan mempunyai lebih banyak kekuasaan dan pengaruh, apabila ia dapat menjalin hubungan yang baik dengan anggota-anggotanya, artinya kalau ia disenangi, dihormati dan dipercaya.
  1. Struktur tugas
Bahwa penugasan yang terstruktur baik, jelas, eksplisit, terprogram, akan memungkinkan pemimpin lebih berpengaruh dari pada kalau penugasaan itu kabur, tidak jelas dan tidak terstruktur.
  1. Posisi kekuasaan
Pemimpin akan mempunyai kekuasaan dan pengaruh lebih banyak apabila posisinya atau kedudukannya memperkenankan ia memberi hukuman, mengangkat dan memecat, dari pada kalau ia memiliki kedudukan seperti itu.

C.  Teori Kepemimpinan dari Konsep Path Goal Theory
Dikembangkan oleh Robert House, inti dari teori tsb  adalah merupakan tugas pemimpin untuk memberikan informasi, dukungan, atau sumber-sumber daya lain yang dibutuhkan kepada para pengikut agar mereka bisa mencapai berbagai tujuan mereka. Istilah path goal berasal dari keyakinan bahwa para pemimpin yang efektif semestinya bias menunjukkan jalan guna membantu penikut-pengikut mereka mendapatkan hal-hal yang mereka butuhkan demi pencapaian tujuan kerja dan mempermudah perjalanan serta menghilangkan berbagai rintangannya.
   House mengidentifikasikan empat perilaku kepemimpinan, Pemimpin yang direktif memberi tahu kepada para pengikut mengenai apa yang diharapka dari mereka, menentukan pekerjaan yang harus mereka selesaikan, dan memberikan bimbingan khusus terkait dengan cara menyelesaikan berbagai tugas tersebut. Pemimpin yang Suportif adalah pemimpin yang ramah dan memerhatikan kebutuhan para pengikut. Pemimpin yang partisipatif  berunding denga para pengikut dan menggunakan saran-saran mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Pemimpin yang berorientasi pencapaian menetapkan tujuam –tujuan yang besar dan mengharapkan para pengikutnya untuk bekerja dengan sangat bai . berlawanan dengan Fiedler, House berasumsi bahwa pemimpin itu fleksibel dan bahwa pemimpin yang sama bias menampilkan satu atau seluruh perilaku ini bergantung pada situasi yang ada.
   Karakteristik karyawan sebagai contoh, berikut adalah ilustrasi prediksi-prediksi yang didasarkan pada Path Goal Theory :
·         Kepemimpinan direktif menghasilkan kepuasan yang lebih besar manakala tugas-tugasnya bersifat ambigu atau penuh tekanan bila dibandingkan dengan ketika tugas-tugas tersebut terstruktur sangat ketat dan diuraikan dengan sangat baik.
·         Kepemimpinan yang suportif menghasilkan kinerja dan kepuasan karyawan yang tinggi ketika karyawan mengerjakan tugas-tugas yang terstruktur.
·         Kepemimpinan direktif cenderung dipandang tidak efektif apabila karyawan memiliki kemampuan yang diyakini baik atau pengalaman yang banyak. 
·         Karyawan dengan pusat kendali internal akan lebih puas denga gaya partisipatif.
·         Kepemimpina yang beorientasi pencapaian dapat meningkatkan harapan para karyawan bahwa usaha akan menghasilkan kinerja yang tinggi ketika tugas-tugas disusun secara ambigu.
Hasil studi Robert House (2008:354) menjelaskan bahwa tingkah gaya para pemimpin dapat dipengaruhi oleh employee characteristics and enviroment.
Ă¼ Lima karakteristik karyawan yang memengaruhi gaya kepemimpinan yaitu:
1.      Locus of control.
2.      Kemampuan tugas (task ability)
3.      Kebutuhan berprestasi (need for achievement) 
4.      Pengalarnan (experience)
5.      Kebutuhan kejelasan (needfor clarity)
Ă¼ Dua faktor lingkungan yaitu:
1.      Struktur tugas (task structure)
2.      Dinarnik kelompok kerja (work group dynamic).

Analisis :
Teori kepemimpinan dari konsep moderrn choice approach participation yang memuat decicion tree for leadership dari Vroom & Yetten, yang terdiri dari (1) Normative theory yang terdiri dari AI (Autocratic), AII (Autocratic), CI (Consultative), CII (Consultative), GII (Group Decision). Ada juga Normative Theory, Leader Information Rule, Goal Congruence Rule, Unstructured Problem Rule, Acceptance Rule, Conflict Rule, Fairness Rule.
Teori kepemimpinan dari konsep Contingency Theory of Leaderhip dari Fiedler ada asumsi dasar yang terdiri dari dua variable yang saling berinteraksi yaitu: sistem motivasi dari pemimpim, dan tingkat atau keadaan yang menyenangkan dari situasi. Sistem kepemimpinan dibagi menjadi 3 dimensi: Hubungan pemimpin-pengikut, struktur tugas, dan posisi kekuasaan.
Teori kepemimpinan dari konsep path goal theory, dikembangkan oleh Robert House, inti dari teori tsb  adalah merupakan tugas pemimpin untuk memberikan informasi, dukungan, atau sumber-sumber daya lain yang dibutuhkan kepada para pengikut agar mereka bisa mencapai berbagai tujuan mereka. Istilah path goal berasal dari keyakinan bahwa para pemimpin yang efektif semestinya bias menunjukkan jalan guna membantu penikut-pengikut mereka mendapatkan hal-hal yang mereka butuhkan demi pencapaian tujuan kerja dan mempermudah perjalanan serta menghilangkan berbagai rintangannya. House mengidentifikasikan empat perilaku kepemimpinan, Pemimpin yang direktif memberi tahu kepada para pengikut mengenai apa yang diharapka dari mereka, menentukan pekerjaan yang harus mereka selesaikan, dan memberikan bimbingan khusus terkait dengan cara menyelesaikan berbagai tugas tersebut.

Sumber:
Tangkilisan, S. H.N, (2005). Manajemen publik. Jakarta: PT Grasindo.
Sutikno, R. B. (2007). The power of empathy in leadership. Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama.
Poniman, F. N. I.,  & Azzaini,. J. (2007). Kubik leadership; Solusi esensial meraih sukses dan kemuliaan hidup. Jakarta Selatan: PT Mizan Publika.
Kartini Kartono, (1998). Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta : PT. Grafindo Persada.

Saturday, 7 November 2015

Psikologi Manajemen Minggu Ke 6

TEORI-TEORI LEADERSHIP

A.      Definisi Leadership
Definisi menurut ahli
1.         William G. Scott (1962) Kepemimpinan ialah proses mempengaruhi aktifitas yang diorganisir dalam suatu kelompok dalam usahanya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
2.         George R. Terry Kepemimpinan merupakan suatu hubungan yang ada didalam diri seseorang atau pemimpin dan mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan sadar dalam hubungan tugas agar tercapainya sebuah tujuan yang diinginkan.
3.         Hemhill dan Coon (1995) Kepemimpinan merupakan sikap dari seorang individu yang memimpin berbagai kegiatan dari suatu kelompok menuju suatu tujuan yang ingin dicapai bersama-sama.
4.         Tannenbaum, Weschler dan Massarik (1961) Kepemimpinan ialah sebuah pengaruh antar pribadi, yang dijalankan pada keadaan tertentu, serta diarahkan lewat proses komunikasi, menuju arah pencapaian satu tujuan tertentu atau lebih.
5.         P. Pigors (1935) Kepemimpinan ialah proses dorong mendorong lewat keberhasilan sebuah interaksi dari berbagai perbedaan individu, mengontrol daya seseorang dalam mengejar tujuan bersama.
6.         Kartini Kartono (1994 : 48) Kepemimpinan itu karakternya khas, spesifik, dibutuhkan pada satu situasi tertentu. Sebab didalam sebuah kelompok yang melakukan kegiatan-kegiatan tertentu & memiliki sebuah tujuan serta berbagai macam peralatan yang khusus. Pemimpin sebuah kelompok dengan ciri-ciri yang karakteristik adalah fungsi dari situasi tertentu.

B.       Teori-teori Kepemimpinan Partisipatif
1.    Teori X dan Teori Y (DOUGLAS MC GREGOR)
Douglas  McGregor telah merumuskan dua model yang dia sebut Teori X dan Teori Y.
a.         Asumsi teori X yaitu rata-rata manusia memiliki bawaan tidak menyukai pekerjaan dan akan menghindarinya jika dia bisa.
1.)    Karena mereka tidak suka bekerja, kebanyakan orang harus dikontrol dan terancam sebelum mereka akan bekerja cukup keras.
2.)    Manusia rata-rata lebih suka diarahkan, tidak menyukai tanggung jawab, adalah jelas, dan keinginan keamanan di atas segalanya.
3.)    Asumsi ini terletak di belakang hari ini sebagian besar prinsip-prinsip organisasi, dan menimbulkan baik untuk "sulit" manajemen dengan hukuman dan kontrol ketat, dan "lunak" manajemen yang bertujuan untuk harmoni di tempat kerja.
4.)    Kedua ini adalah "salah" karena pria perlu lebih dari imbalan keuangan di tempat kerja, dia juga membutuhkan motivasi lebih dalam tatanan yang lebih tinggi - kesempatan untuk memenuhi dirinya sendiri.
5.)    Teori X manajer tidak memberikan kesempatan ini staf mereka sehingga karyawan diharapkan berperilaku dalam mode.
b.         Teori Y Asumsi
1.)    Pengeluaran upaya fisik dan mental dalam bekerja adalah sebagai alam seperti bermain atau istirahat.
2.)     Pengendalian dan hukuman bukan satu-satunya cara untuk membuat orang bekerja, manusia akan mengarahkan dirinya sendiri jika ia berkomitmen untuk tujuan organisasi.
3.)    Kalau suatu pekerjaan memuaskan, maka hasilnya akan komitmen terhadap organisasi.
4.)    Pria belajar rata-rata, di bawah kondisi yang tepat, tidak hanya untuk menerima tetapi mencari tanggung jawab.
5.)    Imajinasi, kreativitas, dan kecerdikan dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah kerja dengan sejumlah besar karyawan.
6.)    Di bawah kondisi kehidupan industri modern, potensi intelektual manusia rata-rata hanya sebagian dimanfaatkan
2.    Teori Sistem 4 menurut Kensis Linkert
a.       Asumsi dasar
Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baikmaka operasional organisasi akan membaik. Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat system:
1.)      Sistem pertama : system yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik. Tahun 1960-an Likert dikembangkan empat sistem manajemen yang menggambarkan hubungan, keterlibatan, dan peran antara manajemen dan bawahan dalam pengaturan industri.Keempat sistem adalah hasil dari penelitian bahwa ia telah dilakukan dengan sangat produktif supervisor dan anggota tim mereka Perusahaan Asuransi Amerika. Belakangan, ia dan Jane G. Likert merevisi sistem berlaku untuk pengaturan pendidikan. Mereka awal revisi itu dimaksudkan untuk menjelaskan peran kepala sekolah, siswa, dan guru; akhirnya individu-individu lain di dunia akademik dimasukkan seperti pengawas, administrator, dan orangtua.
2.)      Sistem kedua : system yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih sensitive terhadap kebutuhan karyawan.
3.)      Sistem ketiga : system konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan.
4.)      Sistem keempat : system partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan.
5.)      Partisipatif (kelompok) system : Manajemen sepenuhnya percaya pada bawahan / karyawan. Ada banyak komunikasi dan bawahan sepenuhnya terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Bawahan nyaman menyatakan pendapat dan ada banyak kerja sama tim. Tim dihubungkan bersama-sama oleh orang-orang, yang menjadi anggota lebih dari satu tim. Likert panggilan orang di lebih dari satu kelompok "menghubungkan pin". Karyawan di seluruh organisasi merasa bertanggung jawab untuk mencapai tujuan organisasi. Tanggung jawab ini terutama sebagai bawahan motivasi ditawarkan imbalan ekonomi untuk mencapai tujuan organisasi yang mereka telah berpartisipasi dalam pengaturan.
3.    Teori of Leadership Pattern Choice Tannenbaum dan Schmidt
Model Leadership Continuum
Teori ini datang dari Robert Tannenbaum dan Warren H.Schmidt. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) menyatakan bahwa pimpinan mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis.
Model delegasi dan tim pengembangan Tannenbaum dan Schmidt Continuum adalah sebuah model sederhana yang menunjukkan hubungan antara tingkat kebebasan yang seorang manajer memilih untuk diberikan kepada tim, dan tingkat kewenangan yang digunakan oleh manajer. Sebagai kebebasan tim meningkat, sehingga otoritas manajer berkurang. Ini adalah cara yang positif bagi kedua tim dan manajer untuk berkembang. Sementara model Tannenbaum dan Schmidt keprihatinan kebebasan didelegasikan ke grup, Prinsip yang mampu menerapkan berbagai tingkat kebebasan didelegasikan erat berkaitan dengan 'delegasi tingkat' pada delegasi halaman. Sebagai seorang manajer, salah satu tanggung jawab Anda adalah untuk mengembangkan tim Anda. Anda harus mendelegasikan dan meminta sebuah tim untuk membuat keputusan sendiri untuk berbagai tingkatan sesuai dengan kemampuan mereka.
Berikut adalah Tannenbaum dan Schmidt Continuum didelegasikan tingkat kebebasan, dengan beberapa tambahan penjelasan bahwa seharusnya membuat lebih mudah untuk memahami dan menerapkan.
a.       Manajer memutuskan dan mengumumkan keputusan.
b.      Manajer memutuskan dan kemudian 'menjual' keputusan untuk kelompok.
c.       Manajer menyajikan latar belakang keputusan dengan ide-ide dan mengundang pertanyaan.
d.       Manajer menyarankan keputusan sementara dan mengundang diskusi tentang hal itu.
e.       Manajer menyajikan situasi atau masalah, mendapat saran, kemudian memutuskan.
f.       Manajer menjelaskan situasi, mendefinisikan parameter dan meminta tim untuk memutuskan.
g.      Manajer memungkinkan tim untuk mengidentifikasi masalah, mengembangkan pilihan, dan memutuskan tindakan, dalam batas-batas yang diterima manajer.

Daftar Pustaka
Fatah, Nanang. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Yukl, G. A., R. Lepsinger, and T. Lucia. 1992. Preliminary Report on the Development and Validation of the Influence Behavior Questionnaire. in Impact of Leadership. Eds. K. E. Clark.
Vroom, VH dan Yetton, PW. (1973). Kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Pittsburg: University of Pittsburg.
Munandar, Ashar Sunyoto. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta. Universitas Indonesia